3 Hal tentang Menjadi Ibu

 “Motherhood: The only place you can experience heaven and hell at the same time.” –Anonymous

Saat saya memulai tulisan ini, waktu menunjukkan pukul 20.30. Suami saya sedang dinas keluar negeri sehingga hanya ada saya dan cimol (panggilan kesayangan saya untuk anak) di kamar. Tentu saja si cimol  sedang tidur sehingga saya punya waktu untuk bisa mengisi blog saya yang absen 1,5 tahun. Selain pemalas, butuh waktu 4,5 bulan untuk saya, si Ibu baru, memproses apa yang terjadi pada hidup saya paska melahirkan. Di tulisan kali ini, saya akan coba berbagi tiga hal yang saya rasakan selama pergantian status dari istri saja ke ibu. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi saya coba merangkum realita versi saya ya. Enjoy!

1. Bulan pertama adalah yang terberat, pastikan kamu punya support system


Satu bulan pertama cimol lahir adalah satu bulan dengan istigfar terbanyak seumur hidup saya

Dalam hampir 5 bulan ini, bulan pertama saya dan suami sebagai orang tua benar-benar messed up layaknya anak baru yang tidak diberi handover dari karyawan lama yang tiba-tiba menghilang tak bisa dihubungi. 

Kami kekurangan tidur dan clueless menghadapi cimol. Beraat sekali rasanya. Seminggu sudah seperti sebulan. Belum lagi karena berbeda golongan darah, cimol sempat harus menginap di rumah sakit saat di usianya yang seminggu sehingga kami harus bolak balik mengantar susu perah (yang harus siap sedia tiap 3 jam). Setelah keluar rumah sakit, kami benar-benar menjaga agar cimol minum cukup di saat saya yang stress tidak memproduksi banyak asi. Wah kalau diingat-ingat saya dan suami suka tertawa nelangsa. 

Untungnya, kami memiliki support system yang membantu kami tetap waras, mulai dari orang tua dan juga teman (yang salah satunya rela menjadi ibu susu cimol). Ada juga pihak terkait seperti mbak dan bu bidan yang sangat membantu untuk saya untuk fokus.

Support system yang benar-benar punya ilmu lebih banyak, lebih tenang, serta bisa diajak gantian membuat kami lebih cepat beradaptasi. 

Jadi saya setuju sekali sama pepatah afrika yang bilang butuh sekampung buat membesarkan anak (yang punya lingkungan aman dan terpenuhi kebutuhannya). Asli deh, yang awalnya idealis bisa ngurus berdua terpadahkan di hari ketiga cimol ke rumah. 

Punya support system enak sih, tapi ada tapinya..

Memiliki banyak 'tangan' diiringi dengan memiliki banyak pemikiran berbeda. 

Yes, pola asuh dan peraturan ke cimol jadi beragam. Banyak ina inu dari pihak sana dan sini yang bertabrakan dengan nilai saya dan suami. Hal ini menjadi challenge sendiri untuk memberi support system cimol  (dan juga diri sendiri) boundaries. Gimana caranya biar bisa set boundaries? Jujur sampai saat ini kami masih belajar sih, kalau kami berhasil nanti kami share ya..

2. Mempunyai anak membuatmu mengenali dirimu lagi, termasuk suara dari inner childmu


Jadi ibu dengan wounded inner child itu ibarat jadi nahkoda kapal yang menghadapi bajak laut gigih yang ngegangguin kamu biar kapal kamu jatuh

Seiring lewatnya satu bulan, saya dan suami pun sudah mulai bisa membaca pola perilaku cimol dan juga sudah bisa mulai tidur sedikit-sedikit. Sudah sehat mental dan kembali berfungsi seperti dulu? oh tentu tidak. 

Sebagai orang yang dikit-dikit nanang ismail (nangis -red) dan juga penuh kecemasan tinggi, memiliki anak sungguh sebuah turbulensi di hidup saya. Dalam sebuah group counseling, ada sesi mengakses alam bawah sadar saya tentang seberapa self love sih kamu ke dirimu sebagai ibu. Awalnya saya udah pede "ah paling tujuh dari sepuluh" dan ternyata nilai self love saya cuma 5 ternyata...

Saya lalu mulai menganalisis kenapanya (nilai self love saya rendah). Dari situ saya sadar ada penumpang gelap dalam otak saya yang selalu bisikin saya 

"kamu belum jadi ibu yang baik"

"Kamu ngerepotin banyak orang, ngurus anak satu aja nggak becus"

"Kasian cimol punya ibu kamu"

Ternyata, penumpang itu adalah inner child saya yang terluka, yang selalu ingin mensabotase saya dengan rengekannya sehingga membuat saya tidak bisa berfungsi sebagai ibu. Kenapa dia tiba-tiba muncul? Yes, karena kebutuhan kita sebagai si 'anak' ini kita refleksikan ke anak kita, kita translate jadi "aku gamau anak aku kekurangan a b c" "aku takut membesarkan anak yang punya luka sama kayak aku" "aku bakal ngelakuin hal yang sama nggak ya?" Kalau kita membiarkan dia menang, ya bisa jadi masa depresi kita lebih panjang, atau bahkan terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan.

Apakah punya anak adalah keputusan buruk? Buktinya mental healthlo keganggu!

Jujur, sampai saat ini suara-suara itu juga masih terngiang di pikiran saya. Sesekali saya juga masih suka nangis kok terutama kalau lagi kecapean, anak cranky, keluarga menerobos boundaries, dan lain sebagainya. Menurut saya justru ini waktu yang tepat buat saya, si ibu baru ini, untuk mengobati luka-luka yang selama ini cuma terpendam aja (bukan sembuh, jadi sebenernya kayak bom waktu aja). 

Kalau kamu seperti saya, segera cari pertolongan ya. Bisa dengan ke psikolog, ikut grup terapi, atau kalau nggak sempat, 30 menit ajaa per hari allow yourself to be relaxed (misalnya mandi air hangat atau pijet). Percayalah dengan pertolongan yang tepat justru kamu bisa jadi orang yang lebih baik kok

3. Kebahagiaan (sekaligus keresahan) terbesar saat kamu memiliki makhluk yang hidupnya bergantung padamu 

Punya anak itu bikin kamu bisa senang dan sedih di waktu yang sama (tapi sampai saat ini sih banyak senangnya)

Ketika identitas saya berubah menjadi ibu, orang terdekat dari si bayi tentu saja saya. Simpelnya, kebahagiaan dia, hidup dan mati dia bergantung apakah saya mau bangun dan memberikan dia makan, mengganti popoknya, ataukah mengajak dia main. 

Tentunya ada rasa senang buat saya yang clingy dan mudah kesepian ini untuk punya seseorang yang membutuhkan saya. Saya merasa divalidasi bahwa saya berharga, saya dicintai. 

Akan tetapi, ada bagian dalam diri saya yang kadang-kadang butuh ruang. Ruang untuk tidak dalam mode waspada sepanjang waktu, ruang untuk melakukan hobi saya dan mengenang masa-masa 'bebas'. Hal inilah yang kadang mendorong ibu-ibu baru untuk tetap stress tetap postpartum depression. 

Bu, kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri juga

Ini yang saya pelajari dari sesi konseling saya. Saya boleh loh memikirkan diri saya. Justru dengan memikirkan diri saya, saya bisa memberikan cinta yang lebih bagi anak saya; karena saya punya cukup cinta untuk diri saya sendiri.  Yes, balik lagi ke self love bund

Don't be too hard for yourself

Yes, kira-kira itu yang saya ambil hikmah dari punya anak ini. Mohon maaf kalau tulisannya agak nggak beraturan karena saya pun lagi mencoba untuk kembali berfungsi seperti dulu (ini juga masih dalam mode alert karena di bagian ini udah jam 22.30 dan si cimol udah tidur gelisah tanda-tanda mau bangun. 

Akhir kata, buat ibu-ibu dan bapak-bapak baru, mungkin hidup nggak bakal sama lagi, tapi yuk semangat yuk


Love, 

Sartika

Comments