Tiga Kunci Hubungan Sehat di Pernikahan

 


When we love, we always strive to become better than we are. When we strive to become better than we are, everything around us becomes better too. - Paulo Coelho

Hari ini tanggal 1 September 2021, tepat dua tahun saya menjadi istri. Tepat dua tahun saya menikmati hubungan romantis yang paling sehat dalam hidup saya. Selama dua tahun pernikahan, saya dan suami tentunya dihadapi akan berbagai perbedaan dan penyesuaian diri. Akan tetapi, kami tidak pernah bertengkar hebat layaknya kebanyakan pasangan di sekitar saya (kebanyakan ya, bukan semua). Sampai saat ini, hubungan kami masih terasa cukup menyenangkan untuk saya.  
Saya tidak bilang hubungan kami tidak dilanda cobaan. Kami beberapa kali melewati rasanya kehilangan dan kekecewaan. Akan tetapi, ijinkan saya berbagi tiga hal yang saya pelajari dari hubungan saya dan suami sehingga kami bisa melewati semua itu dengan lebih mudah dari pengalaman saya:
1. Bahagiamu tanggung jawabmu, bukan partnermu 

Ini mungkin memang terkesan klise. Tetapi sebagai orang dewasa yang sadar akan keadaan dirinya, kami (saya dan suami) bertanggung jawab atas kewarasan kami masing-masing.

Ya nggak mungkin dong pasangan nggak memengaruhi perasaan kamu? 

Ya emang nggak mungkin. Saya nggak bilang kamu nggak bisa sedih ketika berbeda pendapat sama pasanganmu atau saat pasangan melakukan hal yang berbeda dengan ekspektasi kamu. Perasaan kamu valid kok saat kamu sedih. Akan tetapi balik lagi, reaksi kamu dan langkah yang kamu pilih selanjutnya adalah seluruhnya tanggung jawab kamu. Apakah kamu akan ngambek nunggu dia minta maaf (yang mana bisa jadi dia juga nggak ngerasa salah), atau kamu berbesar hati ngomong duluan atau ya emang menerima bahwa ada hal-hal yang nggak bisa kamu kontrol dan move dengan plan selanjutnya. 

Sebagai contoh, ada beberapa hal-hal kecil yang kami terapkan selama dua tahun ini. Contoh kecilnya, suami saya inginnya saya bangun pagi menyiapkan kopi. Akan tetapi, saya mengalami susah tidur akhir-akhir ini. Bukannya berpasrah, dia dengan legowo bikin kopi sendiri tanpa komplain karena dia sadar itu bukan hal besar dan hal tersebut dapat diatasinya sendiri. Contohnya lagi, saya yang anaknya clingy ini inginnya ngobrol terus. Akan tetapi saya sadar load kerja suami saya sedang banyak dan suami yang introvert butuh me time. Bukannya berpasrah, saya coba isi kebutuhan saya dengan menghubungi teman-teman saya atau cari hobi baru. 

 Disini mungkin melibatkan penyesuaian diri, tetapi kami masing-masing tidak meributkan hal kecil yang sebenarnya bisa diatasi sendiri. 


2. Dia bukan milikmu, dia milik dirinya sendiri 



Yang namanya dua kepala, pasti kemauannya berbeda

Ketika kami menjadi pasangan, kami tidak mau merampas kebebasan masing-masing. Kami jarang melarang-larang atau mencoba mengubah satu sama lain. Di awal hubungan, kami sudah sadar bahwa pernikahan itu soal menerima, menyesuaikan diri, dan berjalan bersama.  Selama hal tersebut bukan hal yang menjadi dealbreaker kami (yang tentunya udah disepakati dari awal), then we must go on without complaining. 

Sebagai contoh, suami saya hobi banget melihara reptil. Walaupun saya takut, asalkan saya tidak disuruh ngurusin, saya monggo.. kalau dilihat sekarang dia sangat bahagia sama hobbynya dan bisa cuan juga hehehe. Contoh lagi, suami tidak melarang saya main-main sampe nginep sama teman saya asalkan dia kenal dan saya juga bertanggung jawab. Menurut saya itu priviledge yang nggak semua orang punya dan saya bersyukur akan hal itu. 

Tentunya, kebebasan ini juga diiringi dengan tanggung jawab pada diri sendiri ke pasangan. Dalam arti, ketika kita melakukan sesuatu, kita secara sadar juga berpikir "apakah hal ini merugikan orang lain atau pasangan kita nggak ya?" Kalau iya ya (sejauh ini) kami masih sadar untuk tidak melakukan itu. 

Intinya tetap, bertanggung jawab untuk diri sendiri. 


3. Empati adalah Kunci



Dari dua point di atas, kesannya kayak individualis banget ya? nggak kok

Justru menurut sudut pandang saya, masih memiliki identitas 'aku' dalam hubungan adalah hal yang penting. Bukannya saling cuek, saya justru melihat ini menjadi sarana memahami pasangan. Melihat pasangan dari sudut pandangnya, sudut pandang saya, dan sudut pandang kita.

Walaupun kami adalah individu, kami juga coba mengerti beberapa hal berikut ini

- Apa yang membuat pasangan marah? 
- Apa yang membuat pasangan terhibur saat sedang sedih?
- Pasangan maunya diapain sih kalo lagi marah?
- Bagaimana menyampaikan concern ke pasangan?
- Apa love language pasangan? 
- Apa hal yang sama-sama kami enjoy bareng?


Dengan mengetahui state pasangan sekarang, kita setidaknya bisa membuat interaksi yang sehat. Tahu kapan harus ikut campur atau tidak. Tahu perasaan pasangan saat ini dan tahu cara bertindak dengan mempertimbangkan perasaan tersebut. Tahu dimana titik tengahnya. Yang paling penting, empati mendorong saya atau pasangan untuk membuat satu sama lain lebih nyaman, lebih bahagia, dan lebih mudah menjalani hari. 
Yes, tiga hal itu yang saya pelajari dari hubungan saya sekarang. Mungkin kami masih dalam tahap honeymoon di tahun kedua kami. Kami belum melangkah ke tanggung jawab yang lebih besar (misalnya punya anak, mikirin biaya sekolah, dll). Well, kita lihat aja dinamika ke depannya ya. Wish us luck!

Love, 

Sartika

Comments