Seringnya, cinta bukan segalanya..: Sebuah pembelajaran dari "Marriage Story"




You know, I just watched that documentary on George Harrison, and I thought, “Own it. Just own it. Be like George Harrison’s wife. Being a wife and a mother, that’s enough.” Yeah, then I realized I couldn’t remember her name.
Di akhir tahun ini, sejumlah film bertemakan 'realita pernikahan' cukup jadi sorotan utama, terutama bagi anak-anak millenial yang cukup ambyar jika ngomongin pernikahan. Well, saya cukup senang sih karena kita nggak hanya disuapin sama cerita happily ever after yang justru nggak nyiapin mental kita untuk menemukan realita. 

 Yes, di tulisan kali ini saya mau coba ngebahas insight yang saya dapatkan di film "marriage story" yang bisa kamu tonton di netflix (kayaknya kalau belum nonton, bacanya stop dulu disini, kecuali kalau kamu suka spoiler

Di film ini, hal yang cukup menarik untuk dibahas adalah alasan dari pemeran utama bercerai, yaitu cinta si istri yang merasa kehilangan dirinya dalam pernikahan. si istri merasa ia perlahan cuma pemeran figuran; yaitu seorang istri dan seorang ibu, tapi bukan sebagai orang seutuhnya. Ia yang dahulu adalah pusat perhatian karena perannya sebagai  aktris, perlahan mulai meredup karena merasa kehilangan kendali dan freewill karena tanggungjawabnya untuk "mendukung kesuksesan suami". 

Charlie: We had a great theater company, and a great life where we were.

Nicole: You call that a great life?
Charlie: You know what I mean. I don’t mean we had a great marriage. I mean, life in Brooklyn. Professionally. I don’t know. Honestly, I never considered anything different.
Nicole: Well, that’s the problem, isn’t it? I mean, I was your wife. You should’ve considered my happiness too.
Charlie: Come on, you were happy. You’ve just decided you weren’t now. 
Nicole: The only reason we didn’t live here is because you can’t imagine desires other than your own, unless they’re forced on you.
Plot film ini sangat bagus, latar belakang suaminya pun cukup "berkarakter". Suaminya sendiri memiliki pekerjaan sebagai art director. Sebagai "pengarah", dia tentunya harus memiliki plan yang jelas. DIa harus mengetahui apa yang mau dicapai ke depannya dan mengusahakan agar orang-orang mengikuti sesuai rencananya. Tanpa sadar, dia jadi kurang bisa melihat keinginan orang lain, termasuk keinginan istrinya di kehidupan personalnya.

Yes, mereka cerai bukan karena ga cinta lagi guys (kamu harus lihat ending film ini yang bisa bikin kamu agak mewek), tapi karena adanya kebutuhan untuk merasa 'ada' dan berdaya.

Tentang Eksistensialisme dalam Pernikahan




Dari masalah perceraian mereka, saya coba baca-baca lagi mengenai teori eksistensialisme dan kebutuhan untuk 'ada sebagai manusia seutuhnya' dan menemukan term exsistential marriage dari seorang psikolog dari Saybrook University, Maria Taheny. 

Menurut Taheny, di hubungan pernikahan, suami/istri harus memperlakukan pasangannya sebagai individu seutuhnya, yang memiliki pendapat, yang memiliki kelebihan (bisa jadi hal  yang membuat kita jatuh cinta in the first place) dan juga memiliki kekurangan. Untuk "bekerja sama", kita memiliki peran untuk menerima dan juga mengapresiasi kehendak dari pasangan secara tulus. Yes, authenticity cukup digarisbawahi dalam prinsip ini. 

Misalnya saja, saya menerima seutuhnya kebutuhan suami saya untuk 'me time' dan juga memberikan kebebasan dia dalam mengekplorasi dunianya, saya juga sudah menerima kebiasaan jeleknya (yang tentunya masih bisa ditolerir dan masih sesuai dalam prinsip saya). Sebaliknya, ia pun memberikan kebebasan saya dalam mengekplorasi apa yang saya inginkan dalam hidup. Kami tidak segan membahas masalah dan berdiskusi pandangan masing-masing, untuk kemudian menemukan jalan tengah tanpa merasa seseorang harus mengalah. 

Sebagai dua kepribadian yang berbeda dan berusaha untuk bekerja sama, suami ataupun istri mungkin memegang tongkat pengambil keputusan (e.g. yang mengucapkan final decision), tetapi tetap saja sebagai pasangan, kita harus mendengarkan keinginan dan membuat diskusi apabila ada keinginan yang berbeda. Dalam diskusi sendiri, hindari juga 'mengecilkan' atau 'mengabaikan' keinginan pasangan kamu, yang membuat pasangan ngerasa dia nggak punya hak dalam hubungan. 

Fuh, agak berat ya pembahasannya? wk... hmm intinya sih begini...
Kamu bisa mencari cinta dalam sebuah hubungan (well at least sebagai sparks..), cuma... banyak hal di kehidupan pernikahan yang nggak bisa diselesaikan hanya dengan cinta. At least, cari seseorang yang bisa membuat kamu tetap merasa kamu berdaya.
Love, 
Ika 

Source: 
Taheny, Maria. (2015). Existential marriage: Knights in shining armor and the ladies that love them.  Blog Saybrook University. Diakses dari https://www.saybrook.edu/blog/2015/05/11/05-11-15/


Comments