“Semua salahmu”
“Kamu bisanya
apa sih”
“Kamu bisanya
hanya memperburuk situasi”
Kekerasan dalam hubungan seringkali
identik dengan tindakan fisik, baik KDRT maupun main tangan pada saat pacaran.
Nyatanya, jenis kekerasan sendiri lebih luas dari itu. Salah satu kekerasan
yang terjadi di sekitar kita tetapi seringkali diabaikan adalah kekerasan
emosional (emotional abuse). Padahal
menurut saya pribadi, kekerasan emosional lah yang paling menghancurkan
dibanding kekerasan fisik.
Kekerasan emosional dapat didefinisikan
sebagai penggunaan kekerasan verbal maupun tindakan simbolis yang dapat
menyakiti orang lain (Straus, 1979). Dalam hubungan romantis, kekerasan
emosional ini sangat bervariasi mulai dari verbal seperti ejekan, bentakan, menyalahkan
pasangan, mengancam mengakhiri hubungan sampai nonverbal yang bentuknya non
fisik seperti penyembunyian informasi, pembatasan kegiatan pasangan, isolasi
sosial (dengan melarang pasangan bertemu orang lain), serta mendiamkan
pasangan. Tidak seperti kekerasan fisik, orang yang melakukan kekerasan emosional
seringkali tidak menyadari bahwa dirinya melakukan kekerasan karena ia gagal
untuk mengontrol emosinya sendiri dan ia memang merasa pasangannya lah yang
patut disalahkan (Stosny,2015).
Mendapati kekerasan emosional, korban
biasanya akan melihat diri sebagai pribadi yang tidak menarik, tidak dianggap, tidak
bisa apa-apa dan juga selalu berbuat kesalahan. Akibatnya, bentuk kerugian yang
diterima korban adalah rasa tidak berharga, rasa frustasi, kecemasan, kelelahan
dan juga penurunan kesehatan mental. Sayangnya karena sifatnya yang bukan
fisik, korban seringkali mencoba untuk merasionalisasi perlakuan dari pasangan,
seperti dirinya yang terlalu sensitif atau dirinya yang gagal memenuhi
ekspektasi pasangan. Akibatnya, korban akan menyalahkan diri sendiri. Ia menjadi takut
salah dalam mengambil keputusan dan cenderung akan berusaha mati-matian untuk
menyenangkan pasangan. Dengan adanya rasa cinta, korban pun biasanya hanya
pasrah dan menerima kekerasan walau tanpa
sadar ia justru merusak hubungannya sendiri.
Di Ibukota yang penuh dengan sumber
stres ini, saya melihat bahwa banyak sekali pasangan di sekeliling saya yang
tanpa sadar mempraktekkan kekerasan emosional. Di satu sisi, saya menduga
penyebab banyaknya kekerasan emosional kurangnya pengetahuan akan pentingnya menjaga
self-worth pasangan dan keharmonisan hubungan. Hal ini diperparah oleh paparan
sekelilling tentang bolehnya merendahkan orang lain demi kesenangan kita (lihat
saya acara tv sekarang).
Di sisi lain, saya rasa seharusnya
menjaga perasaan pasangan adalah salah satu kewajiban pasangan yang menjadi common rules. Kamu ingin menjaga
pasanganmu semata-mata karena kamu menghormatinya sebagai manusia yang utuh. Entah
apa pun alasannya, melakukan kekerasan emosional tidaklah keren sama sekali.
Sumber
:
Stosny,
S. (2015). What Drives Emotional Abuse and How to Begin to Recover. Psychology today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/blog/anger-in-the-age-entitlement/201506/what-drives-emotional-abuse-and-how-begin-recover
Straus,
M. A. (1979). Measuring intrafamily conflict and violence: The Conflict Tactics
(CT) Scales. Journal of Marriage and the Family, 41, 75-88.
Comments
Post a Comment